Provinsiriau.com | Pekanbaru – Air Sungai Kuantan seolah berdesir menanggapi riuh klaim dari seberang Selat Malaka. Klaim warganet Malaysia yang menyatakan tradisi Pacu Jalur sebagai warisan Negeri Jiran memicu gelombang polemik panas di jagat maya. Menanggapi hal ini, Pemerintah Provinsi Riau menegaskan dengan bukti sejarah dan realitas pelestarian: Pacu Jalur adalah milik sah masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), di Bumi Lancang Kuning, Indonesia.
Gubernur Riau, Abdul Wahid, mengakui kemungkinan asimilasi budaya di rumpun Melayu. “Setiap peristiwa orang bisa saja klaim karena kita negara serumpun. Asimilasi budaya itu pasti terjadi,” ujarnya saat dikonfirmasi Senin (7/7/2025). Namun, Gubernur menegaskan dengan tegas, “Lihat saja fakta dan realitasnya (ada di Kuansing).” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan dikuatkan oleh jejak sejarah panjang.
Akar budaya Pacu Jalur, menurut penelusuran sejarah resmi, telah bermulai di Kuansing sejak abad ke-19, sekitar tahun 1890. Tradisi ini bermula dari penggunaan “jalur” – perahu panjang yang ditatah dari batang kayu utuh – sebagai nadi transportasi masyarakat Sungai Kuantan untuk mengangkut hasil bumi dan dagang. Nama “jalur” sendiri konon berasal dari kata “menjulur”, menggambarkan sosok perahu yang memanjang. Di era kolonial Belanda, fungsi jalur bertransformasi. Ia tak lagi sekadar alat angkut, melainkan menjadi pusat festival meriah memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina, sekaligus ruang berkumpulnya masyarakat.
“Ini sudah lama, tapi sekarang siapa yang mengembangkan dan mempertahankan. Baru Riau yang mengembangkan dan juga mempertahankan,” tegas Gubernur Wahid, menegaskan peran aktif dan kontinyu Provinsi Riau dalam menghidupkan warisan leluhur ini. Pacu Jalur telah berevolusi dari ritual sungai menjadi event budaya besar. Dari awalnya digelar pada hari besar Islam, kini menjadi pesta nasional menyambut Hari Kemerdekaan RI. Ia adalah simbol solidaritas antar-kampung dan panggung utama ekspresi budaya masyarakat Kuansing.
Bukti pengakuan resmi menjadi senjata utama Riau membantah klaim Malaysia. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat, menyatakan dengan lantang, “Salah besar kalau diklaim orang. Kan bukti-bukti sejarah ada.” Roni menekankan bahwa Pacu Jalur bukan sekadar lomba balap semata. Ia adalah kesatuan utuh yang mencakup ritual dan prosesi adat yang rumit, diwariskan turun-temurun sejak zaman nenek moyang.
“Kalau dari sisi sejarah sudah terdaftar dan jadi warisan budaya tak benda. Itu saja kan sudah jelas bahwa ini warisan budaya Riau, khususnya Kuantan Singingi,” tegas Roni, merujuk pada status legal tertinggi: penetapan Pacu Jalur sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2014. Pengakuan negara ini menjadi bukti otentik yang tak terbantahkan.
Abah Yudhi sebagai Tokoh Muda Riau, menambahkan dimensi kultural. Ia menegaskan bahwa Pacu Jalur lahir dari tradisi masyarakat Kuansing yang mengkristal menjadi identitas khas. “Jika Pacu Jalur diklaim oleh Jiran maka ini adalah klaim yang tidak mempunyai dasar dan nilai sejarah,” tegas Abah Yudhi. Ia juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk lebih serius mempromosikan dan memanfaatkan potensi unik Riau, tak hanya Pacu Jalur, tetapi juga keajaiban alam seperti Ombak Bono Sungai Kampar. “Bono ini menjadi keunikan Dunia. Bukan hanya Riau malahan,” pungkasnya.
Di tengah gelombang klaim yang memicu polemik budaya, Gubernur Abdul Wahid menutup dengan ajakan berpegang pada kebenaran. Ia mengingatkan semua pihak untuk melihat fakta sejarah dan realitas pelestarian yang selama ini dilakukan Riau. Bukti-bukti otentik itulah yang menempatkan Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan, melainkan kebanggaan tak terbantahkan Kuantan Singingi dan identitas nasional Indonesia di mata dunia. Polemik ini menyadarkan betapa vitalnya dokumentasi dan promosi aktif atas kekayaan budaya nusantara.